Sejak tahun 1880, suhu permukaan bumi telah meningkat sebesar 0,08 derajat celsius per dekade. Angka tersebut terus meningkat menjadi 0,18 derajat celsius per dekade sejak 1981. Greenhouse gas di atmosfer – salah satunya adalah karbon dioksida (CO2) – menjadi penyebab sebagian panas dari matahari yang tertahan di bumi. Salah satu langkah yang memungkinkan untuk melawan laju emisi karbon adalah dengan menggunakan sumber daya alam sebagai instrumen. Selain lamun dan mangrove, rumput laut dapat menjadi alternatif sumber daya alam di laut yang berfungsi baik sebagai penyerap karbon. Selain itu, peluang ekonomi dari rumput laut juga tidak dapat disangkal. Rumput laut merupakan salah satu komoditas pangan utama yang banyak dikonsumsi di Asia, dan konsumsinya terus meningkat di seluruh dunia.
Sebuah proyek “Penyerapan karbon oleh beberapa spesies rumput laut yang dibudidayakan di Sulawesi Selatan: sebuah riset dan proyeksi perdagangan karbon biru” – suatu bentuk kerjasama kolaboratif Yayasan Blue Seed Indonesia, Universitas Hasanuddin, Politeknik Pertanian Pangkep, dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan – sedang berusaha mempelajari potensi rumput laut yang dibudidayakan di sepanjang garis pantai Sulawesi Selatan, penghasil rumput laut terbesar di Indonesia, sebagai salah satu agen penyerap karbon yang potensial di wilayah laut dan pesisir. Proyek selama 6 bulan ini didukung oleh dana Groundwork Analysis Conservation Strategy Fund (Yayasan Konservasi Strategi Indonesia)
Text : Achmad Fuad Faturrahman